Home Page

Kamis, 09 Februari 2012

KUMPULAN CERPEN

KELEPAK SAYAP JIBRIL
 


AKU tengah duduk di kafe di sebuah mall membunuh kejenuhan dengan secangkir cappuccino ketika sayup-sayup berdesir bunyi kelepak, lembut di telinga. Aku mendongak, melihat bayangan langit pada kubah kaca yang dipenuhi pohon-pohon kurma dan unta dengan kafilah di punggungnya, bergelantungan di besi-besi konstruksi yang dicat warna-warni. Kulihat unta-unta itu bergoyangan, bagai ada tangan yang menyentuhnya.
Kelepak itu! Jelas mendesir di sela keriuhan celoteh gadis-gadis, alunan lagu yang bersliweran dari tiap counter, jerit anak-anak minta mainan dan kemerosak HT satpam. Kelepak itu, kelepak itu, mengingatkanku pada Kakek, ketika suatu malam tergesa-gesa membangunkanku.
Umurku 7 tahun saat itu. Ketika tengah malam Kakek mengguncang tidurku. “Bangun, buyung!” Masih mengantuk, tapi Kakek menyeretku ke pekarangan, menepuk-nepuk pundakku. “Bukankah kamu pingin mendengar kelepak sayap Jibril?!” Masih mengantuk, aku duduk di tumpukan kayu menyaksikan Kakek berjalan mengitari pekarangan. “Kamu mendengarnya, buyung?” Masih mengantuk, kudengar Kakek berkata, tetapi aku begitu kaget ketika menyadari Kakek sudah tak ada. Suara itu, jelas suara Kakek.
Di mana Kakek? Aku begitu ketakutan, merinding dicekam kesunyian dan kegelapan. Desir angin di dedaunan cukup membuatku tergeriap. “Dengarlah, buyung…” bisik Kakek di belakangku. Aku menoleh. Tak ada Kakek. Tapi suara itu? Seperti dengung angin dalam botol. Aku kemudian hanya mendengar gema kelepak sayap kelelawar, membuat malam seperti bergetaran dan cahaya bulan berpendaran. Ranting dan dedaunan jadi berkilatan, batu-batu seperti menyimpan cahaya, menyala redup. Seperti ada yang melintas di udara, dan bayangannya berkelebat di tanah, membuatku seketika mendongak. Kulihat langit penuh bintang, seakan penuh kabut dan beku, membuatku berfikir betapa Kakek tengah sembunyi di sana, mengarungi gugusan cahaya. Kuingat cerita Kakek perihal malaikat yang berdzikir menyalakan bintang-bintang, melayang-layang di keluasan langit membawa ayat-ayat Tuhan.
Tapi, tak kulihat malaikat melayang-layang di antara bintang-bintang. Yang kulihat justru Kakek yang tengah berjalan mendaki undak-undakan cahaya, dengan jubahnya yang berlambaian, memasuki langit yang perlahan membuka.
“Kakeeeekkkk!!!” Aku berteriak memanggil sekuat tenaga. “Kaaakkkeeekk!!!”
“Ada apa, buyung?” Kakek telah berdiri di sampingku, begitu saja, serta merta. Belum lagi habis keherananku, Kakek menggandengku masuk.
“Belum mengerti jugakan kamu, buyung, kalau semua suara di dunia ini berasal dari kepak sayap Jibril?” Kakek mengusap keningku. “Kamu mesti belajar memusatkan pendengaranmu. Kamu mesti memilah mana yang sesungguh-sungguhnya suara, dan mana yang cuma gema. Desir angin itu, buyung, juga cericit tikus tanah, bunyi jangkrik dan kemerosak ranting jatuh, hanyalah gema kelepak sayap Jibril. Sekarang tidurlah. Besok malam Kakek akan membangunkanmu lagi. Tidurlah.”
Namun, sampai dini hari, aku tak bisa tidur. Aku selalu digoda untuk bisa mendengar suara kelapak itu. Sampai ketika sayup azan subuh merambat di kejauhan, aku seperti mendengar kelepak sayap di balik jendela, mendesir lembut di telinga.
Desir kelepak sayap itulah, yang kini aku dengar lagi, membuatku begitu terkesiap. Alangkah menyenangkan, kalau di tengah keramaian mall ini, Jibril tiba-tiba muncul. Tetapi, kalau memang Jibril benar-benar muncul di mall ini, apakah orang-orang akan peduli? Jangan-jangan malah akan diusir satpam! Jibril, dengan sayap lembut berjuntaian, boleh jadi hanya dianggap seorang yang tengah mencari sensasi dan perhatian. Aku pernah melihat seorang senimang yang mengadakan performance art dengan memakai sayap bulu-bulu di punggungnya, berjalan-jalan keliling mall, membagi selebaran berisi ajakan untuk peduli pada persoalan kemanusiaan ketimbang sibuk berbelanja – tetapi orang-orang hanya memandang dan menanggapi selintasan. Orang-orang lebih menaruh perhatian pda leaflet yang dibagikan para sales girl berpakaian mini dan ketat yang menawarkan produk minyak wangi baru. Yeah, sudah pasti, seperti aku, orang-orang itu datang ke pusat perbelanjaan pastilah tak mau memusingkan diri dengan segalam macam tetek bengek persoalan kemanusiaan. Orang-orang  ke sini untuk membunuh kejenuhan dan membeli apa saja yang memang menggoda untuk di beli meski tak terlalu butuh dan penting benar. Di tengah kesumpekan hdup, mall jadi oase impian yang bisa membuat kita meyakin-yakinkan diri betapa hidup ini memang juga menyenangkan, dengan membeli pakaian, sekadar jajan dan jalan-jalan atau pacaran. Inilah tempat kita membunuh kesepian. Bukankah kesepian merupakan komditas paling mengunungkan? Orang-orang kesepian adalah pasar yang menguntungkan. Orang akan membeli apa pun asal bisa mengusir sepi, asal bisa memperoleh sedikit arti, semacam usaha menghibur diri: bahwa ia masih manusia yang bisa merasa bahagia. Merasa ada.
Kembali kelepak sayap itu mendesir dan bergema di telinga, dan astagfirullah, kulihat Jibril duduk di punggung unta gabus yang digantungkan pada konstruksi yang kini jadi terlihat seperti labirin di keluasan langit biru. Ya, Allah, benarkah itu JIbril? Sayapnya yang kukuh menjuntai lembut. Dan itu, ya Allah, bukankah itu Kakek? Berdiri bersandar pada pohon kurma gabus yang tergantung bergoyangan. Sungguh menakjubkan. Bayangan senjan menangkup kubah kaca, membuat sosok Kakek terlihat samar-samar. Lalu, kusadari, betapa kubah kaca itu perlahan-lahan membuka, latas menjelma padang pasir dengan bayangan senja kuning kemerah-kemaran. Kulihat una-unta dari gabus itu bergerak hidup, berjalan beriringan di bawah cahaya senja, menembus angina berdebu, melintas di atasku yang takjub tertimbun kebosanan. Kulihat Jibril yang masih saja duduk di pinggung unta, diiringi Kakek dan sekawanan unta, berjalan mengapung di langit-langil mall, kemudian menembus kubah kaca, lenyap…
Saat itu, segera aku menyadari, orang-orang rebut karena unta-unta gabus yang bergelantungan raib seketika.
“Barusan masih menggantung!”
“Lihat sendiri, tak ada lagi, kan?”
“Ada yang ngambil kali.”
“Nggak mungkin. Dari tadi juga nggak ada sispa-siapa di atas sana.”
“Tapi lihat sendiri kan, benar-benar lenyap begitu saja!”
Aku ikut mendongak. Unta-unta gabus yang bergelantungan di langit-langit mall itu memang sudah tak ada.
KUCERITAKAN kejadian itu pada Ayah. “Bukankah itu luar biasa?” kataku. Ayah hanya menggeremeng pendek. Sementara aku terus bercerita dengan ketakjuban meluap-luap, tanpa menyadari kalau Ayah tak begitu peduli.
“Kulihat Kakek membumbung, lenyap di telan langit yang keemasan. Sementara kelepak sayap Jibril terus berderisan. Saat itulah Kakek…”
“Sudahlah!” potong Ayah. Tajam menatapku. “Kau tahu, si tua bangka itu sudah musnah jadi tanah.” Ayah mendengus. “Sekarang pergilah!”
Aku mundur,, menyadari betapa Ayah tak pernah bisa berdamai dengan Kakek. Aku ingat, ketika dulu semasa kanak-kanak, aku bercerita soal soal Kakek yang mengajakku keluar malam-malam untuk mendengarkan suara sayap Jibril, Ayah langsung berteriak gusar, “Jangan dengarkan si tua bangka itu. Masuk kamar dan belajar!”
Beberapa hari berselang, kudengar Ayah memaki-maki Kakek. Ayah tak suka mengajariku hal-hal yang menurutnya hanya klenik, takhayul. Sejak itu, Ayah berusaha menjauhkan aku dari Kakek.Setiap aku berusaha mendekati Kakek yang selalu duduk-duduk di pekarangan belakang, Ayah langsung memanggil dan menyuruhku sepaya masuk kamar. Ayah mengunci pintu kamarku, supaya malam-malam Kakek tak masuk dan membangunkanku. Tetapi, selalu, malam-malam, Kakek telah berada di kamarku. Selalu kudapati Kakek sudah duduk di tepian ranjang, mengusap-usap kepalaku dengan lembut, hingga kurasakan hawa hangat merambat di ubun-ubunku, hawa hangat yang membuatku mengantuk dan merasa mengapung. Saat mataku dirambati kantuk, kulihat wajah Kakek dipenuhi cahaya. Seperti hendak menghantarku ke alam mimpi yang penuh keajaiban, dengan suara pelan Kakek akan bercerita tentang kisah-kisah mistis yang selalu menakjubkanku.
Tentu saja, aku tak menceritakan semua itu pada Ayah.
AKU masih terbayang-bayang peristiwa kemunculan Kakek bersama Jibril di mall itu, yang membuatku jadi kembali teringat hari-hari sesudah Kakek meninggal. Malam-malam, setelah Kakek dikuburkan, aku masih mendengar langkah Kakek yang selalu berjalan setengah menyeret kakinya, hingga menimbulkan suara srek srek srek saat menyampar dedaunan kering di pekarangan. Kudengar juga lamt-lamat percakapan kakek dengan entah siapa di luar. Tak ada keberanianku membuka jendela untuk mengetahui dengan siapa Kakek bicara. Aku pun kerap mimpi, Kakek mendaki undakan cahaya, neik ke langit yang dipenuhi cahaya cerlang keperakan.
Tetapi kenangan tentang Kakek perlahan-lahan kian menjauh, ketika Ayah kian menyibukkanku dengan bermacam kegiatan sekolah. Apalagi Ayah memang sangat tak suka apabila kami –aku, adik dan kakakku – bertanya atau bercakap-cakap membicarakan Kakek. Kemudian kusadari, betapa cara Ayah mendirik kami, adalah sebuah cara membunuh Kakek dari ingatan kami. Ayah memang tak terlalu menghargai Kakek, itu aku tahu setelah duduk di SMA.
Rupanya, bagi Ayah, Kakek – yang adalah ayah kandung Ayah – tak lebih seorang pemalas, yang sepanjang hari hanya melamun dan bertingkah aneh. Kakek sering berhari-hari pergi, entah ke mana, yang kalau pulang tak pernah membawa apa-apa selain benda-benda yang menurut Ayah tak berguna dan tak berharga. Di mata Ayah, Kakek hanya menyengsarakan keluarga. Yang tak jelas apa pekerjaannya. Yang membuat Nenek mesti banting-tulang meladeni kebutuhan Kakek dan keenam anaknya, yakni Ayah dan adik-adiknya. Sebagai anak tertua, Ayah menghabiskan masa kanak-kanak sampai remajanya dengan membantu Nenek – ibu kandung Ayah – berjualan kue carabikang dan serabi, sementara Nenek jual kupal lengko di dekat pasar. Bagi Ayah, Kakek hanyalah seorang ayah yang cuma pintar omong soal kepasrahan menjalani hidup, sementara setiap hari mereka harus maka, membayang hutang beras, dan tetek-bengek segala macam kebutuhan hidup yang membuat mereka dari hari ke hari kian terbelit kebutuhan konkrit. Ketika Nenek meninggal karena penyakit paru-paru, Ayah menganggap itu akibat ketidakbecusan Kakek ang tak pernah mampu membawa Nenek berobat dan opname di rumah sakit di kabupaten. Sejak itu Ayah nyaris tak bernah bercakap-cakap dengan Kakek. Dan seperti hendak menghindarkan diri dari Kakek, Ayah semakin ulet bekerja, sekaligus kian tak menghomati Kakek.
“Laki-laki yang tak bisa menghasilkan uang, lebih baik mati sejak dini!” Itu ditanamkan Ayah pada semua anaknya.
Aku tak menganggap sikap Ayah salah. Karena bagaimana pun Ayah telah mengentaskan anak-anaknya menjadi orang yang cukup terhormat. Kalau bukan karena keuletan Ayah mendidik kami dengan segala macam kepraktisan hidup yang diyakininya, barangkali aku dan saudara-saudaraku masih jualan kupat lengko. Kara cara mendidik Ayahlah, boleh dibilang kami jadi sangat menghargai pentingnya uang. Yang penting kaya dulu, baru yang lainnya, begitu tegas Ayah. Apa boleh buat, orang kaya kini memang lebih dihormati.
Tetapi, sekeras apa pun Ayah mencoba menjauhkanku dari ingatan tentang Kakek, aku tak pernah sepenuhnya menyalahkan Kakek. Mungkin ini karena kedekatanku dengan kakek. Dibanding anak Ayah lainnya, aku memang paling dekat dengan Kakek. Kenangan pada kakek memang telah menjadi masal silam yang timbul tenggelam dalam keriuhan kerja. Tetapi seringkali kenangan itu muncul begitu saja bagai gema genta yang datang dari ingatan dan kerinduanku pada Kakek yang tak dengan gampang aku lupakan.
Dan kemunculan kakek di mall itu seolah menegaskanku tentang kenangan yang selama ini diam-diam ingin aku hirup kembali, seakan-akan aku mencium kembali bau harum kopri tubruk Kakek ketika dia duduk-duduk di teras bersandar di kursi bambu. Disesah kejenuhan seperti ini, aku tiba-tiba begitu merindukan saat-saat bersama kakek bersijengkat keluar kamar, berdebar karena takut Ayah akan terbangun. Kini Kakek seperti ingin menemuiku. Apakah itu bukan bayangan kesepianku? Ataukah Kakek memang kembali mengingatkanku mengenai hal-hal yang tak cukup diatasi dengan hidup yang berkelimpahan? Selama ini Ayah selalu mengajariku untuk sungguh-sungguh menyintai uang, uang, uang dan uang. “Itulah kebahagiaan, anakku,” begitu selalu kata ayah, sambil merentangkan kedua tangannya yang menghamparkan puluhan perusahaan. Kuakui, Ayah memang pekerja keras. Ayah adalah kepraktisan. Ialah ketangkasan dan keuletan menumpuk uang. Sementara Kakek, barangkali, kedalaman sunyi lubuk hatiku. Seperti ada gema panjang dalam lubuk kesunyian itu, yang entah kenapa kini terasa mengusap hidupku yang nyaris datar dan monoton. Mungkin aku berlebihan. Mengada-ada. Tetapi kelepak sayap yang kudengar itu…
Sepanjang perjalanan pulang, aku seperti mengalir dengan semua kenangan.
KOK masih pakai mobil ini? Katanya hari ini sudah ganti!” Istriku cemberut menyambut kedatanganku. Aku mendesah, mencoba tak peduli.
“Mas, gimana, sih!”
Aku langsung masuk kamar. Capek. Pingin tidur.
“Saya kan sudah cerita sama teman-teman arisan, kalau hari ini saya sudah pakai mobil baru. Denger enggak, heh? Gengsi dong…Mas nggak usah pura-pura tidur gitu, deh! Begitu ya caramu merhatiin istri. Kok aneh, pasti habis ketemu pacar lama, ya! Pantesan tadi aku ele[on ke kantor nggak ada. Kalau sudah bosen bilang saja. Cerai juga enggak papa kok. Yang penting mobil barunya, beliin dulu!”
Hidup macam apakah ini?
Kuambil sebotol brandy, jengah menghindari ocehan istriku. Aku dudul di balkok luar, memandang dengan perasaan kosong sepotong bulan yang terapung bagai perahu. Kukira perempuan itu sudah mendengkur. Hmm, apakah suara dengkur juga berasal dari sayap jibril. Kuteguk brandy, seperti kuteguk kesepianku. Bayangan keemasan muncul dari bali bulan, mendekat bergemerincingan. Aku jadi teringat ketika dulu aku suka duduk tercenung di jendela memikirkan Kakek, memandang keluasan malam yang bagai lautan hitam rahasia, sambil bertanya-tanya untuk apakah sebenarnya kita hidup bila selalu saja merasa sepi dan hampa? Kini aku memandangi langit, dan kian merasa sepi dan hampa, terpekur memandangi langit yang perlahan dipenuhi cahaya keemasan yang bergemerincingan. Di antara bunyi gemerincing itu, aku dengar kelepak lembut, seperti ada yang tengah menepuk-nepukkan telapak tangan begitu pelan yang timbul tenggelam dalam desau angina, gaib di telinga.  Dari kamar yang gelap, kudengar juga dengkur istriku. Apakah ia merasa bahagia dengan mendengkur seperti itu? Kuteguk brandy, kuteguk lagi, membunuh sunyi sepi hatiku.
Di hamparan cahaya kekukingan yang memenuhi langit, kulihat Kakek berdiri di puncak gedung besama Jibril, seperti melambai memanggil-manggilku. Aku hanya mendengar bunyi kelepak sayap itu, yang membuatku – entah kenapa – begitu saja membayangkan kematian. Dari cahaya keemasan yang bergemerincingan yang muncul dari balik bulan, aku seperti mencium bau maut yang ngelangut.
Ah, alangkah sunyi malam ini. Dan kelepak sayap itu terus mendesir, terus mendesir…***






Puisi Agus Noor

LELUCON MENJELANG KEMATIAN
: Gus Dur




1/
Aku ingin mendengar leluconmu, sebelum mati. Engkau pun bercerita perihal kerbau.
Syahdan, seekor kerbau muncul di depan istana. Para penjaga heboh, dan segera melapor pada Presiden. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya penjaga. “Jangan gegabah. Kita mesti hati-hati, pada apa yang belum kita mengerti,” jawab Presiden. “Pasti saya akan ambil keputusan, tapi nanti.”
Dan kau, juga aku, pada akhinya tahu: seorang penyair pernah mengatakan, hidup hanya menunda kekalahan. Maka, bagi Presiden itu, hidup hanya menunda keputusan.

2/
Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa. Bahkan, menjelang mati pun kamu masih lucu. Lalu perlahan disentuhnya, ruhmu.
“Bukan kematian benar menusuk kalbu,” katamu, seperti pada bait puisi. “Tapi, bila boleh menawar, saya tak ingin mati hari ini. Sekarang 25 Desember, bukan? Hari yang ranum dan bahagia. Saya tak ingin siapa pun yang merayakan kelahiran Tuhan, berduka karna kematian saya.”
Maut terasa fana. Dalam mati pun, ada yang terasa lebih berharga.

3/
Seperti dalam puisi, gerimis pun mempercepat kelam. Langit penuh kesedihan. “Sebelum mati, ijinkan saya berpesan,” katamu. “Jangan Kau biarkan orang-orang saling dorong atau berdesakan saat pemakaman. Apalagi sampai ada yang mati terinjak atau pingsan.”
Kenapa, kata-Ku.
“Karna nanti malah dikira orang antri rebutan sumbangan…”

4/
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.
“Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya tak terlalu suka puisi. Kau tahu, penyair lebih rumit dari sopir bajaj. Di jalanan, kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya sopir bajaj dan Tuhan. Tapi kalau penyair menulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu, apa yang ditulisnya itu.”
Tapi aku ingin menulis puisi. Meski mungkin tak akan pernah menjadi abadi. Lihatlah, di matamu yang perlahan terkatup, seperti ada perih puisi.
Ya, katamu, selalu ada yang jauh lebih tak terduga dari puisi, melebihi mati.

5/
Seperti ada yang perlahan-lahan sampai. Seperti ada yang tugur di sisimu.
“Tuan Tuhan, bukan?”
Tunggu sebentar. Gus Dur lagi tidur







Peradilan Rakyat

Cerpen Putu Wijaya

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***



Sunday, September 04, 2005


Di Dusun Lembah Krakatau

Cerpen St. Fatimah*)

Banjo berjalan gontai pelan-pelan di belakang emaknya. Burung-burung gagak hitam terbang rendah, berkoak-koak memekak. Di atas, langit yang damai tak menjanjikan sama sekali rasa aman.

Lewat baris-baris pohon jati di sepanjang jalan, si emak dan anak laki-lakinya itu dapat melihat lembah Krakatau yang melandai berombak-ombak. Tak mereka jumpai lagi sosok-sosok manusia yang berarak tak henti-henti mendaki seperti semut, tak peduli disambut oleh lingkaran awan tebal dan gumpalan langit tak berawan. Sebuah kabar burung tentang anak siluman telah memutus urat keberanian mereka.
"Banjo!"
Emaknya tiba-tiba berhenti.

Mendengar namanya dipanggil, anak itu terkejut. Bukan karena takut, melainkan karena firasat yang semakin dekat. Kenyataan yang akan datang tentang firasat itu bisa terasa sangat sakit, bahkan bisa juga mematikan.
"Kau lelah, Jo? Sepertinya Emak terlalu memaksamu berjalan hingga sejauh ini. Maafkan Emak, Jo."

Sesudah mengusap liur yang meleleh di sudut bibirnya, si emak menggandeng tangan Banjo, dan ucapnya lagi, "Ayo kita pergi ke pohon besar di sana itu. Kita buka bekal makanan kita. Kau lapar kan?"
Banjo tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengangguk saja, lalu mengekor patuh di belakang emaknya.

Tidak jauh dari situ tampak pohon besar yang rimbun daunnya. Di situ emak membuka buntalan kain sarung, sementara anak laki-lakinya selonjor, melenturkan otot-otot kakinya, dengan bersandar pada batang pohon besar itu.
"Banjo, duduklah dekat Emak sini."
Banjo merangkak menuju emaknya.

Emak mengeluarkan dua lembar daun jati tua. Ia melipat satu lembar daun jati itu sedemikian rupa di atas telapak tangannya, hingga membentuk semacam mangkok makan. Diisinya mangkok daun jati itu dengan nasi, gorengan ikan asin, dan sayuran rebus. "Kau ingin Emak menyuapimu?"
Banjo mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju.

Emak menyeringai senang, memperlihatkan sederetan gigi yang warna putihnya tak sempurna. Ia senang melihat anak laki-lakinya makan dengan lahap. Ia seketika lupa bagaimana anak-anak penduduk dusun sini melempari Banjo dengan tomat busuk dan batu kerikil. Sementara orang-orang dewasa melihat kejadian itu tanpa bereaksi apa pun selain tertawa. Apa yang lucu dari melihat seorang bocah laki-laki yang pasrah begitu saja ditawur bocah-bocah sebayanya, dilempari batu hingga mengakibatkan luka memar dan berdarah di sekujur tubuhnya? Apa semua lelucon tak pernah berperasaan?

Barangkali penduduk dusun sini meyakininya demikian. Mereka terpingkal tanpa rasa kasihan. Beberapa di antara mereka mencorongkan tangan di mulut dan meneriaki anak lelaki malangnya dengan kata-kata kasar. Mereka mengerumuninya dan menggiring ke luar dusun. Emak sudah hapal dengan perlakuan penduduk dusun ini; tanpa perasaan mendendam ia berbisik pada diri sendiri, "Barangkali mereka capek kerja ladang seharian, lalu mereka mencoba mencari hiburan."

Emak dengan sabar dan telaten membesarkan hati putra semata wayangnya itu. Tak ada yang benar-benar membuat hatinya meluap kegembiraannya, selain ketika bisa melihat wajah Banjo tampak tersenyum sewaktu tidur. Dalam pikirannya, senyum Banjo sewaktu tidur itu berarti segala-galanya. Leluhurnya pernah bilang, jika di pertengahan tidurnya seorang anak mengigau atau menjerit-jerit, itu artinya ada bayangan hitam yang menempel pada si anak. Dan emak tak mau bayangan hitam itu satu kali saja menempeli putra tunggalnya.
Banjo sudah lelap di pangkuan emaknya. Sementara emak mulai tak kuasa menghardik rasa kantuknya.

Dusun yang bermandikan cahaya kekuningan matahari menghilang di kejauhan, berangsur-angsur digelapkan oleh kabut petang musim penghujan. Tapi musim penghujan bukan halangan besar bagi penduduk dusun untuk mencari nafkah. Karena mereka percaya Hyang Air dan Hyang Angin telah mereka buat kenyang dan senang hati dengan upacara, tumbal, dan sesaji. Kepercayaan itu juga yang membuat emak dan Banjo terusir dari dusun itu.

Semuanya seperti berputar kembali. Kaki langit menggenang dalam kubangan kuning kemerahan. Jangkrik-jangkrik mulai menghela komposisi kerikannya. Satu-dua burung hantu menyembulkan kepalanya dari lubang sarangnya, membawa badannya yang buntal ke tengger pohon yang paling tinggi --hampir menyundul dagu bulan. Dan hewan-hewan malam lainnya pun serentak bergerilya ke sebalik lubang-lubang amat gelap.

Emak pulang larut malam dari rumah Wak Nardi dengan berbekal obor bambu di genggaman tangannya. Malam itu tak seperti malam-malam lalu. Amat gelap, amat dingin, amat mencekam. Kesiur angin membuat nyala obornya bergetar bergoyang-goyang selalu. Kedua belah matanya beberapa kali merem-melek, menyiasati lesatan uap kabut yang menggores jarak pandangannya.

Tapi, tiba-tiba kabut itu dikejapkan cahaya kilat --dan sungguh mengejutkan. Begitu ganjil kedatangan kilat itu. Kini yang dilihatnya bukan lagi kepulan kabut yang mengendap-endap lambat menyergap, tapi semacam gumpalan asap tebal yang mirip kepala raksasa yang bertonjol-tonjol menyeramkan.

Sekejap, kilat menyabet terang membelah langit. Di ujung jalan berbatu di sebelah barat, dari tengah-tengah sepasang pohon asem yang tegak kekar di kanan-kiri badan jalan muncullah bayangan sosok tubuh yang setindak demi setindak menuju ke arahnya, tapi hilang-hilang nyata dalam sabetan-sabetan cahaya kilat. Betapapun emak berusaha dengan menajamkan sorot mata kuyunya yang bernaung dalam kecekungan lubang matanya, sia-sia saja ia mengenali wajah tubuh itu. Tapi jelas, dari gerak-gerik sosok tubuh asing yang sedang menuju ke arahnya itu adalah sosok perempuan.

Hatinya bergetar, berdegup-degup tak karuan. Terus terang emak sedang ketakutan. Dinantikannya sampai sosok itu melontarkan setidaknya satu patah kata lebih dulu. Sungguh pun diketahuinya kecil kemungkinannya sosok itu adalah orang dusun yang dikenalnya, tapi entah mengapa ia masih mau berdiri memaku menunggu sosok tanpa wajah itu menegurnya.

Hingga….akhirnya sosok berwajah lembut nan cerlang itu tersenyum padanya, bersamaan muncul lingkaran cahaya terang memusar lalu memancar --begitu seterusnya-- di belakangnya. Cantik, sungguh cantik. Dua belah mata yang berbinar tegas, meninggalkan sorot yang menggores tajam setiap memandang. Bibirnya menggumpal padat berisi dan basah mengkilap. Kulit wajahnya halus sempurna dan seputih kapas. Wajah itu sungguh bercahaya menggetarkan dada dan menyejukkan hatinya, sampai-sampai mulut emak menganga. Beberapa kali ia pun menghela napas, menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara balas tersenyum balik. Ia berubah seperti anak kecil yang tengah mendapati sebatang kembang gula yang tiba-tiba tergenggam di kedua tangannya.

Bau harum menusuk hidung emak. Bau harum yang mengepul dari kibasan jubah panjang sosok makhluk cantik itu. Ya, makhluk cantik, hanya sebutan itu yang terlintas di hatinya. Ia yakin sosok di hadapannya itu bukan satu dari bangsa manusia seperti dirinya. Malaikatkah? Atau bangsa jin? Ia belum pernah berjumpa dua bangsa ciptaan Hyang itu sepanjang sisa-sisa rambut ubannya yang memutih kapas. Jadi ia tak bisa mengatakan dengan pasti, apalagi teka-teki, dari bangsa yang mana sosok makhluk di hadapannya itu. Ia hanya bisa mengatakan makhluk itu cantik, maka itu makhluk cantik.

Lama. Malam tambah hening, tambah senyap, tambah penuh tanya. Tak kelihatan lagi kejapan-kejapan kilat yang berseliweran membelah langit di atas. Sekonyong-konyong meluncur dari sela bibir makhluk cantik itu, tapi bibir padat berisi itu tiada bergerak, terdengar begitu saja, kata-katanya sangat jelas dan berbunyi, "Susui jabang bayiku hingga datang malam purnama kedua puluh tujuh…."

Serasa emak dikepung anak buah malaikat maut, linglung tak tahu apa yang mesti diperbuat. Jantungnya bunyi berdegup-degup, kedua belah matanya terus berkedip-kedip. Jari-jarinya gemetar ketika menepuk-nepuk kulit pipinya yang kisut-kendur. Suara bicara sosok itu yang menggema per kata-kata, di telinganya persis wangsit Hyang, memekakkannya hingga kemerotak persendian di sekujur tubuhnya kalah beradu dengan kemerosak gesekan dedaun yang diterjang angin amat kencang, amat mencekam.

Belum genap emak menghilangkan kekalutannya, tiba-tiba sosok mahacantik itu melesat dekat ke arahnya. Hingga ia harus memejamkan matanya rapat-rapat, dan hanya dua cuping telinganya yang waspada. "Akan kuambil kembali ia bilamana purnama telah sempurna….!" Hanya beberapa detik setelah gaungnya suara kakupak dari arah sawah penduduk di kanan-kirinya menghampiri gendang telinganya. Hanya beberapa detik setelah angin kencang tiba-tiba tenang, jalanan berbatu itu kembali gelap gulita. Nyala obor di tangan emak gemetar lamban.

Setelah peristiwa itu, esok paginya emak mengalami kesakitan dari ubun-ubun hingga kuku-kuku jemari kakinya. Kepalanya lebih pening dari sakit pusing biasa. Tubuhnya gemetar menggigil lebih hebat dari akibat kedinginan biasanya. Perutnya lebih tertusuk-tusuk ketimbang rasa lapar biasa. Tulang-tulangnya lebih rapuh daripada pengemis tua renta yang terlantar.

Orang-orang dusun dan sekitarnya memutuskan agar emak dan suaminya dipencilkan ke hutan di perbatasan dusun. Mereka percaya bahwa suami-istri "aneh" itu telah dikutuk. Makhluk cantik yang konon mencegat emak pada malam ganjil itu adalah jin yang menjelma dalam wujud malaikat samarannya. Bahkan kepala sesepuh dusun angkat tangan mengamini mereka.

Perut emak seperti perempuan hamil. Ia pun merasakan kesakitan-kesakitan yang lazim dialami oleh kebanyakan perempuan hamil. Emak memang hamil. Sementara minggu bergulir menjadi bulan. Dan ketika bulan menginjak putarannya yang kesembilan, emak melahirkan seorang bayi laki-laki. Tanpa bantuan dukun, tabib, atau orang pintar mana pun. Bayi laki-laki itu diberinya nama Banjo.

Banjo tumbuh sehat, itu pasti. Emak dan suaminya bahagia. Pun orang-orang dusun terimbas bunga rasa itu, meski dengan air muka yang berbeda. Melihat Banjo sama saja berdiri menonton satu atraksi "makhluk aneh" di sirkus pasar malam. Mereka membiarkan Banjo bertingkah. Bocah itu tak sadar, kegirangan penduduk dusun jauh lebih menyakitkan daripada tersengat ribuan lebah pekerja. Setiap kali orang-orang dusun terbahak, setiap kali itu pula kerongkongan emak semakin tercekat.

Hingga usia Banjo dua tahun lebih, hingga hari yang dijanjikan itu tiba, emak mendapat mimpi aneh. Dalam mimpi itu, ia melihat Banjo menjadi santapan makhluk serba nyala merah dan meruapkan hawa sangat panas. Tak ada yang sempat diingatnya, kecuali dengung suara menggelegar dari arah makhluk ganjil itu. "Aku minta anakku dari rahimmu….!" Emak tersimpuh lemas di samping bujur kaku suaminya yang meradang seperti orang sekarat.

Sepeninggal suaminya, masih ia ingat ia tak kuasa menolong Banjo yang meronta-ronta waktu itu. Matanya merah. Kedua tangannya mencengkeram jeruji-jeruji kayu, membuat kurungan kayu itu terguncang cukup keras. Saat itulah seorang anak kecil ingusan berlari menghambur ke halaman rumahnya ketika mendengar genderang dipalu di jalanan dusun. Peristiwa yang jarang terjadi. Anak kecil itu berlari membawa badannya yang tambur tanpa baju. Matanya bersinar-sinar memandangi arak-arakan para lelaki dusun sambil memalu bekhudah2 yang bertabuh hingar. Biji mata anak kecil itu mengikuti arakan. Serombongan laki-laki tanpa baju yang wajah dan tubuhnya dicoreng-corengi arang hitam mengarak seorang anak manusia dalam kurungan kayu yang ditandu. Mereka menuju ke puncak bukit di mana bertahta sebuah pohon kekar, mahabesar, dan menjulang tinggi. Di pelataran bawah pohon itulah Banjo dibaringkan di atas meja batu berlumut.

Banjo harus menjalani prosesi kurban kepada Hyang. Tubuh bocah laki-laki itu ditelanjangi. Kedua tangan dan kakinya diikat di masing-masing sisi meja batu. Setelah itu, seorang tetua ritual memercikkan air yang diyakini bertuah menghilangkan kekuatan jahat yang menghuni jasad seseorang, sambil merapal mantra.

Ingatan emak menjadi gelap. Tapi tak segelap malam ini. Tapak tangan kasar emak tak lepas mengusap kepala Banjo. Hampir empat belas malam berlalu, terhitung sejak malam ia "mencuri" tubuh kapar Banjo, mereka berpindah-pindah tempat perlindungan. Keduanya sebenarnya tidak ingin sembunyi dari kejaran orang-orang dusun. Emak sungguh berhasrat untuk meyakinkan mereka bahwa Banjo benar-benar anak yang lahir dari mulut rahimnya, bukan anak tumbal Hyang yang dipinjamkan di rahimnya. Tapi mereka tidak pernah bisa menerima keyakinannya itu. Karenanya ia dan Banjo harus berlindung dari piciknya kepercayaan mereka pada sesuatu yang menggariskan durhaka tidaknya manusia di hadirat Hyang.

Hampir sepertiga malam. Makhluk-makhluk yang dinapasi misteriusnya malam, makin menggeliat dalam kehitaman rimba bumi. Tak peduli sebuah tugas mahamulia telah memampatkan kerongkongan orang-orang dusun yang, kebanyakan para lelakinya, bermalam-malam membidik dua manusia paling dikutuk: Banjo dan emaknya. Meski membuat ladang-ladang garapan mereka terbengkalai, itu tak apa! Yang penting bagi mereka, dusun mereka bersih dari manusia-manusia durhaka, yang mengingkari wasiat Hyang.

Waktu bergerak lambat bagai geliatan pesolek di mata ratusan laki-laki dusun yang tersebar di tiap-tiap sudut batas dusun, juga di tempat-tempat gelap terpencil. Dan, dua buronan mereka telah menjadi begitu terkutuk di mata mereka, karena membuat tubuh mereka memagut dinginnya malam demi malam tanpa kehangatan dari napas sengal perempuan-perempuan mereka. Membuat biji mata mereka nyaris melesat dari liangnya. Membuat darah mereka mendidih, mengerjat-ngerjat sesekali, seperti dibakar ubun-ubun mereka. Lagi-lagi salah satu dari mereka geram.

"Haram jadah! Aku sudah muak! Terserah laknat Hyang kalau dusun ini masih membiarkan dua manusia terkutuk-Nya itu hidup, bahkan mungkin bisa lebih lama dari hidup kita semua. Aku tak peduli. Persetan! Bukankah Dia juga yang menghidup-matikan mereka?"

Persis, belum habis satu kali kedipan mata, setelah laki-laki dusun yang geram itu memberondongkan kalimat umpatannya, libasan petir sekonyong merobek angkasa yang gelap tak berbintang. Menghamburkan ratusan laki-laki dusun dari pos-pos penjagaan mereka, semburat tunggang-langgang, seperti sekawanan semut yang baru saja diobrak-abrik sarangnya oleh moncong trenggiling. Cambuk-cambuk petir itu mengoyak-moyak kesadaran mereka. Semua terjadi seperti dalam murka yang dahsyat.

***

Setelah yakin melelapkan Banjo di atas tumpukan daun-daun lebar dan reranting kering di sisinya, emak bangkit. Melangkah terbungkuk-bungkuk menuju mulut gua kecil yang tak sengaja diketemukannya persis ketika libasan petir pertama, libasan paling kilat. Emak memandang saja ke kejauhan. Petir mencekam. Kesiur angin menegakkan bulu kuduk.

Hingga…hingga sepertinya emak melihat kelebat sinar putih. Tinggi dan besar. Mendekat…Mendekat…Lalu melampaui diri tegaknya di tepi mulut gua. Melingkari tubuh Banjo yang meringkuk lelap.
Tak ada perlawanan. Tatapan emak telah menjadi begitu hampa. ***

Catatan:
1 Yakni bebunyian dari bambu untuk menghalau burung di ladang.
2 Alat musik seperti terbangan, namun dalam bentuknya yang lebih besar.

*) Cerpen ini merupakan pemenang kedua (tak ada pemenang pertama) lomba cerpen Krakatau Award 2005 yang diadakan Dewan Kesenian Lampung, yang diumumkan Agustus lalu. St. Fatimah adalah cerpenis Surabaya. Selain cerpen, lulusan Sastra Inggris Unair itu juga menulis puisi, dan esai sastra-budaya. Dia juga menjadi editor dan penerjemah freelance.


Sunday, September 18, 2005


Seharusnya Berjudul Celana Dalam

Cerpen Etik Juwita

Sundari sedang memasukkan baju-baju kotor ke mesin cuci ketika suara lantang majikan perempuannya menggema dari arah kamar tidur utama.

"Cundaliiii!!" jerit itu terdengar lagi. Sundari terkesiap, gugup. Sundari tahu benar, ketika namanya disebut lengkap begitu sesuatu yang luar biasa pasti sedang terjadi. Tiga bulan tinggal bersama keluarga asing yang menjadi majikannya, sudah membuatnya mulai mengerti kebiasaan tuan dan nyonyanya.

Sundari mencoba mengingat-ingat, apa kira-kira yang telah diperbuatnya pagi ini atau kemarin malam. Sundari yakin tidak ada yang tidak wajar. Memang, sejak kepulangannya dari Amerika kemarin sore, Mam tak habis-habisnya menekuk wajah. Sepertinya ia menyesal telah pulang. Tuan pergi ke China, berangkat dua jam sebelum Mam kembali. Sundari buru-buru memindahkan semua baju dari dalam keranjang ke mesin cuci. Tapi, belum sempat ia menuangkan deterjen, suara majikannya terdengar dekat. Menyembul dari pintu dapur, "Cundaliiii!!" Sundari menoleh, dan tanpa diperintah lagi mengikuti langkah majikannya. Dag dig dug jantungnya berirama bingar.

"Look!!" jari lentik majikannya menunjuk laci pakaian dalamnya yang terbuka. Sundari mendekat, mengamati setiap pernik di dalamnya. Rapi, tidak ada yang salah letak. Beberapa saat Sundari cuma tertegun. Sampai majikannya dengan menggunakan sisir mencoba mengangkat sesuatu (celana dalam!). Sundari tetap tidak mengerti.

"It’s your panty, isn’t it?" berkata begitu Mam melotot ke arahnya sambil menunjukkan celana dalam yang dirapikanya beberapa hari lalu. Waktu itu Sundari sempat tersenyum geli, berpikir, mungkin Tuan sedang kangen sama Mam hingga perlu mengeluarkan celana dalamnya yang paling bagus --yang ini Sundari belum pernah lihat sebelumnya, lalu menjemurnya di balkon. Saat merapikannya, Sundari merasa tidak perlu bertanya pada Tuan soal celana dalam itu. Tidak sopan, pikirnya. Tapi, menghadapi sikap nyonyanya yang seolah telah lupa sama sekali dengan barang milik pribadinya, kontan Sundari jadi salah tingkah.

"Nnn... no.. no Mam. My panty is big-big one," kata Sundari akhirnya. Mendengar jawaban Sundari, Mam mengerutkan dahi hingga alisnya yang bergaris tajam saling bertaut. Wajahnya semakin kelihatan judes. Matanya yang sipit mulai kelihatan merah dan berair. Mam mulai menangis. Sundari semakin salah tingkah. Ia ingin mengatakan pada Nyonya, mungkin sebaiknya Nyonya menelepon dan menanyakan pada Tuan soal celana dalam yang diributkannya itu. Tapi, segera diurungkannya. Dengan bahasa Inggris patah-patah sambung, bagaimana mungkin ia akan mampu menjelaskan pada Nyonya? Sundari diam dalam kebingungan. Ia hanya menuruti langkah majikannya saja ketika ia bergegas menuju kamar Sundari. Sambil sesenggukan Nyonya membuka laci pakaian Sundari. Foto usang Parjo meringis di depan sepeda motor tetangga, terlihat. Sundari tersipu. Mam mengamati isi laci Sundari agak lama, dan dengan tangis yang semakin menjadi ia menenteng celana dalam murahan berukuran XL milik Sundari. Tangisnya semakin keras, meraung-raung.

Sehari itu, Nyonya mengurung diri di dalam kamar. Bahkan, ketika makan siang pun Nyonya menolak keluar. Sundari berusaha santai dengan mengerjakan rutinitasnya. Saat Nyonya memanggilnya untuk membantu memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besar, Sundari tidak merasakan keganjilan apa pun. Besoknya, Nyonya pergi bersama tas besarnya setelah berpesan kepada Sundari untuk tidak pergi ke mana-mana. Sundari yang memang terbiasa tak pergi keluar rumah, cuma mengangguk-angguk.

Sundari mulai mampu meraba apa yang terjadi. Dulu, dua bulan lalu, Nyonya pernah marah besar kepada Tuan. Gara-garanya, Tuan terlambat pulang. Padahal, Nyonya menunggunya untuk makan malam bersama. Sampai larut malam keduanya masih riuh adu argumen. Hingga tiba-tiba, Tuan menggedor pintu kamarnya dan menyuruhnya mengambilkan peralatan P3K. Esoknya, Sundari melihat pergelangan tangan kiri Nyonya diperban. Mungkin Nyonya mencoba bunuh diri. Nyonya memang orang yang cemburuan.

Sepekan setelah kepergian Nyonya, ketika persediaan makan mendekati habis, Nyonya pulang bersama seseorang dari agen penyalur tenaga kerja yang memasokkan Sundari ke majikannya di Hong Kong.

"Cundali, kamu punya majikan mau celai. Kamu punya kelja tidak ada. Kamu dipulangkan," kata Miss Lam berusaha memberi pengertian pada Sundari. Saat itu Sundari hanya ingat Kang Parjo, suaminya di dekat sepeda motor tetangga, meringis. Padahal Sundari ingin menangis.

***

"Indonesia, hamaiya?" sapa seseorang dari arah samping Sundari, ketika ia sedang mengamati lalu-lintas orang di ruang tunggu Bandara Chek Lap Kok.
"Ya."
"Dipulangkan meh?" tanyanya lagi. Sundari merasa agak gerah dengan pertanyaan itu. Tapi mencoba tenang.
"Kok tahu?" katanya balik bertanya.
"Rambutnya pendek dan bawaannya sedikit ma!"

Sundari tersenyum getir. Lalu perempuan yang menyapanya itu pun duduk di sampingnya. Berbincang-bincang dengan bahasa negeri sendiri --meski Sundari merasa bahasa perempuan itu agak dibuat-buat-- Sundari merasa akan kembali ke dunianya. Tiga bulan ia harus memelajari bahasa asing patah-patah bercampur bahasa isyarat. Menelan bulat-bulat dan berusaha memahami budaya yang jelas berbeda dengannya. Berpikir itu hanyalah bagian yang harus dijalaninya untuk mewujudkan mimpi punya kehidupan yang lebih layak. Mungkin seperti Budha yang mesti menjalani Samsara sebelum mencapai Nirwana. Apalagi bila ia ingat kebiasaan majikan yang suka marah, bicara dengan membentak, tertawa ngakak, menangis sejadi-jadinya, serta-merta Sundari merasa lelah. Kelelahan yang jelas menggurat di wajahnya yang bulat.

Lalu Marni, gadis di sebelahnya itu, siapa menyangka ternyata bekerja di flat yang sama dengannya! Satu tingkat di atasnya. Marni juga dipulangkan.

"Namanya majikan ya Mbak, salah bener ya maunya bener. Hamai sin? Ngapain Mbak dipulangkan?" Marni bertanya kepada Sundari.
"Majikanku cerai. Kamu?"

"Karena celana dalam! Jisin! Dasar majikan nggak tahu diuntung! Seenaknya bilang aku cerob..."
"Celana dalam? Jangan-jangan warnanya merah muda?" potong Sundari.
"Haiya, haiya!"
"Ada renda-renda di samping kanan dan kirinya ya?"
"Haiya!!"
"Kecil, mereknya Sexygirl?"
"Haiwo!! TIM CHI CEK? Kok tahu?"

Sundari bengong, teringat ia akan celana dalam merah muda yang telah berubah jadi guntingan kain kecil tak beraturan di kamar majikannya. Nyonya bilang, "Jangan dibuang, biar Tuan tahu."

Mengingat nasibnya, nasib Marni, juga nasib majikannya, Sundari tersenyum tanpa sadar. Seseorang dengan kulit sewarna periuk gosong, di sebelah kiri pintu masuk, menyambut senyumnya. Sundari mengalihkan pandang cepat-cepat kepada Marni, "Ceritanya singkat. Nanti aku ceritakan di dalam pesawat," katanya, karena pengeras suara itu sudah meneriakkan pengumuman bahwa pesawat menuju Surabaya akan segera lepas landas.

Marni cuma mengangguk sambil melongo.***

Hong Kong, 24 April 2005

Catatan:
- Etik Juwita adalah salah seorang buruh migran di Hongkong yang kini merintis menjadi cerpenis. Cerpen ini salah satu karya terbarunya, yang Kamis (15/9) lalu dibacakannya bersama cerpenis buruh migran lainnya, Denok Rokhmatika di Galeri Surabaya. Etik yang asal Blitar, baru pulang dari Hongkong, 13 September lalu, setelah empat tahun bekerja menjadi TKW di negeri itu. Dia berencana melanjutkan studinya di perguruan tinggi.
- My panty is big-big one = My panties are bigger than his one.
- jisin: gila
- hai wo: o, begitu!




Cerpen Emha Ainun Nadjib
September 19, 2008, 7:56 am
Filed under: Gang Rumah Para Cerpenis
 
LELAKI KE-1000 DI RANJANGKU

Emha Ainun Nadjib


Lelaki pertama yang meniduriku adalah suamiku sendiiri dan lelaki yang mencampakkan ke lelaki kedua adalah suamiku sendiri dan untuk perempuan yang begini busuk dan hampir tak mampu lagi melihat hal-hal yang baik dalam hidup ini maka lelaki kedua hanyalah saluran menuju lelaki ketiga, keempat, kesepuluh, keempat puluh, keseratus, ketujuh ratus….
Kututup pintu kamarku keras-keras, kukunci dan, “Pergi kau lelaki! Cuci mulut dan tubuhmu baik-baik sebab istrimu di rumah cukup dungu untuk kau kelabui.”
Bayangkan lelaki itu masih bisa berkata, “Kau jangan murung dan menderita, Yesus dulu disalib untuk sesuatu yang lebih bernilai bagi ummat manusia….”
“Aku tak punya Yesus! Aku pintar ngaji!” aku memotong.
Ia tersenyum , dan memandangku mirip dengan mripat burung hantu. “Kau putus asa Nia….”
“Aku memang putus asa. Bukan kau. Jadi pergilah!”
“Kau bukan perempuan yang tepat untuk berputus asa. Percayalah bahwa kehidupan ini sangat kaya. Dan aku ini laki-laki. Laki-laki sejati hanya mengucapkan kata-kata yang memang pantas dan ia yakini untuk diucapkan. Keinginanku untuk mengambilmu dari neraka ini dan mengawinimu….”
“Cukup Ron! Jangan ucapkan apa-apa dan pergi!”
“Nia!…..”
Kudorong ia keluar. Pintu kututup.
Jangan ganggu. Kini aku mau tidur. Sama sekali tidur. Jangan ada mimpi dan jangan ada apapun juga. Semua buruk dan durhaka.
Kuhempaskan tubuhku yang gembur, tenagaku yang terbengkelai dan jiwaku yang arang keranjang.
Tengah malam sudah lewat. Kulemparkan handuk kecil basah ke kamar mandi mini di pojok. Di luar, musik sudah surut. Tinggal geremang suara lelaki, sesekali teriakan mabuk. Tapi Simon lulusan Nusakambangan itu pasti bisa membereskan segala kemungkinan.
Kupasrahkan segala kesendirianku di kasur. Tubuhku tergolek dan semuanya lemas. Kuhembuskan nafas panjang. Tak cukup panjang. Dadaku selalu sesak. Sahabatku dinding, atap, almari, kalender porno, handuk-handuk—sebenarnya ini semua kehidupan macam apa? Seorang perempuan, dari hari ke hari, harus mengangkang…..
Kumatikan lampu, “Sudahlah! Aku mau tidur. Sebenar-benarnya tidur. “Tuhan, kenapa jarang ada tidur yang tanpa bangun kembali? Alangkah gampangnya ini bagiku. Namun baiklah. Asal sekarang ini jangan ada yang menggangguku. Kalau ada yang mengetuk pintu, akan kuteriaki. Kalau ia mengetuk lagi, teriakanku akan lebih keras. Kalau ia ulang lagi, akan kubuka pintu sedikit dan kuludahi mukanya. Dan kalau ia masih mencoba merayu juga, akan kubunuh.
Datanglah besok, pada jam kerja, semaumu. Nikmati tubuh dan senyumanku, kapan saja kau bernafsu. Tapi jangan ganggu saat sendiriku. Sebab tak bisa lagi aku tersenyum. Aku tak boleh tersenyum untuk diriku sendiri. Aku bisa kehabisan, sebab ratusan bahkan ribuan lelaki sudah menunggu untuk membeli dan karena itu mereka merasa berhak sepenuhnya untuk memiliki keramahanku
Padahal aku sesungguhnya tak punya keramahan lagi. Coba, siapa yang lebih bijak dari pelacur? Tersenyum terus menerus kepada setiap lelaki, meladeninya seperti seorang permaisuri yang terbaik atau setidaknya seorang istri teladan, melakukan segala kemauannya tanpa boleh menolaknya kecuali aku kehilangan kemungkinan di hari-hari berikutnnya. Aku harus ramah, supel, senyum, dalam keadaan apapun. Jadi hitunglah berapa kekuatan jiwa yang kubutuhkan untuk melakukan itu tanpa ada hentinya. Sedang Pak Kyai di desaku sudah sukar tersenyum. Meladeni sekian ratus atau sekian ribu orang tiap hari, dan ia menjadi patung yang mengulurkan tangannya. Tetapi ia dipercaya seperti Tuhan, dan aku, hanya tergantung pada dagingku.
Ah, kenapa mengeluh! Pelacur yang baik tak pernah mengeluh. Sekarang, “Tidur, tidur…”
Apa lagi? Aku sudah hampir menyelesaikan salah satu kesempurnaan hidupku di muka bumi ini. Kini aku telah sampai pada lelaki ke-993. Bukan rekor yang cukup hebat, tapi ini ambang pintu kesempurnaan tersendiri bagiku. Tiga belas bulan sudah aku menekuni karierku ini, dengan berusaha sebaik-baiknya memenuhi segala aturan dan sopan santunnya. Terhadap hampir semua lelaki, moral dan solidaritasku tinggi. Karena itu, sebagai primadona salah satu wisma “Pasar Daging” ini, rata-rata aku menerima 8 lelaki. Dalam sebulan, kira-kira libur seminggu. Dan selama ini aku ambil cuti hampir dua bulan. Cobalah hitung sendiri. Rekorku pasi lebih tinggi kalau saja tidak cukup banyak lelaki yang mengulangi hasratnya atasku beberapa kali…..
Dan besok, kukira aku akan berpesta diam-diam dalam diriku, buat lelakiku yang keseribu. Tak tahu bagaimana, ini semua tidak ada yang baik bagiku, tetapi ada hal yang menarik. Apa yang bisa menghiburku di dunia ini? Delapan lelaki setiap hari adalah hiburan yang berlebihan sehingga kehilangan daya hiburnya dan berubah menjadi kebosanan, kejenuhan dan rasa perih lahir batin. Minum? Sudah tak terhitung lagi, jiwaku sudah kebal. Nonton? Tamasya? Main kartu? Semua sudah hampa. Jangan pula sebut tentang kata-kata manis dari mulut lelaki!
Aku sudah mengecap segala yang manis dari laki-laki. Tetapi manis hanyalah manis dan kenyataan hidup adalah bau yang lain lagi. Suamiku dulu kurang apa? Anak muda yang manis, pengusaha swasta yang berhasil, caranya berjalan seperti pendekar dan mulutnya seperti pujangga. Segala mimpi dan bayangan tentang hari depan ada dalam genggamannya. Namun alasan terkuat sehingga aku menjadi istrinya adalah karena aku mencintainya, tanpa aku pernah mencintai lelaki manapun sebelumnya. Apa yang kurang? Orang tuaku melarang kehendakku karena mempertimbangkan latar belakang lelakiku: perbedaan agama, lingkungan pergaulannya, serta kata Ibu, ‘Cahaya matanya.”
Akan tetapi kata orang, “Ini zaman perubahan, anak dan orang tua tak akan bisa dipertemukan. Maka akhirnya kutempuh riwayat paling buruk dengan orang tuaku. Kami lari. Aku berbahagia sebentar, sampai akhirnya perlahan-lahan tiba saat kehidupan ini menujukkan kuku-kukunya yang asli. Suamiku nafasnya pendek. Keramahannya terhadapku singkat umurnya dan makin surut. Dan, sederhana saja, belakangan kuyakini bahwa ia mulai bermain perempuan lagi, dan ia nampak bergembira karena itu.
Teranglah sudah. Tak bisa kukuasai lukaku, tak bisa kurumuskan semua itu dengan pikiranku, dan untuk kembali ke orang tua aku amat sangat merasa dosa dan malu. Dan, untuk terperosok ke karierku yang baru ini, adalah kejadian yang sepele orang beli rokok, meskipun untuk itu aku kemudian hijrah ke kota yang jauh dari daerah kelahiranku. Soal surat-menyurat resmi? Sangat gampang dibereskan. Dan orang tuaku bukan keluarga yang cukup. Dengan kukirimi uang rutin, mulut mereka terkatup, meskipun ingatan tentang mereka merupakan siksaan sendiri bagiku. Janganlah persoalkan hal-hal sepele seperti itu. Bahkan di sini banyak kawan-kawanku yang memang sengaja dijual oleh suaminya, serta banyak contoh lain di antara puluhan ribu sahabat-sahabatku di kota ini.
“Kenapa kau bisa sampai di sini, Nia ?” banyak sekali lelaki menanyakan seperti itu. Dan jawabanku sudah “kufotocopy” ratusan lembar. Sebab aku tahu tak ada pertanyaan lelaki yang mendalam. Mereka hanya “mesin” dari nafsunya, dan untuk hal-hal yang berbau cinta, kulayani mereka cukup dengan “kertas-kertas loakan” Cinta itu tidak ada. Karena itu terlalu banyak dibicarakan.
“Kau pantas jadi bintang film!”. Ratusan lelaki memujiku. Dan mendengar itu selalu aku ingin berak.
“Mau jadi istriku?” rayunya.
“Kau yang jadi istriku, aku suamimu!” jawabku.
“Aku tidak mengerti…”
“Lelaki tak pernah mengerti!”
“Tidak semua, Nia”
‘Ya, Tidak semua. Jika lelaki ialah perempuan, maka bisa mengerti.”
“Aduh. Perempuan selalu membingungkan….”
“Lelaki selalu membunuh perlahan-lahan!”
Kalau sudah begitu mereka biasanya lantas putus asa dan cepat-cepat saja menggulatiku seperti monyet makan mangga. Tak ada bedanya. Semua yang mendatangiku adalah monyet-monyet. Biar ia sopir, pelaut, guru, pengusaha, mahasiswa, seniman, gali, penjudi, dosen, makelar, peternak, tuan tanah, pelayan, lurah, camat, jagal, pegawai, bandar, germo, botoh maupun bupati. Beberapa di antara mereka yang putus asa hidupnya, agak sedikit lebih baik. Yang lainnya menumpahkan segala dosa dan kehinaan di wajahku.
Jadi, buat apa kupikirkan monyet-monyet?
Sekarang, “Tidur, tidur….”
Tidur lebih baik dari segala sesuatu. Kalau saja ada tidur yang terbebas dari kenyang dan lapar. Kalau saja ada kamar, sekecil apapun, yang memberiku tidur yang sekekal-kekalnya….
Aku tersentak tiba-tiba oleh suara adzan yang keras. Mesjid hanya seratus meter dari tempatku ini. Jadi ini sudah pagi? Dan aku belum tidur sekejappun. Kuraih pil tidur di meja dan kutelan. Suara adzan terus mengalun dan mengejekku. Dalam warna-warni yang malang melintang di mataku, akhirnya aku lenyap ke dalam mimpi buruk. Mimpi seburuk-buruknya, yang bahkan tak pernah dialami oleh setan maupun malaikat.
Tapi tak lama. Setidaknya begitu kurasakan. Dalam remang sakit batinku terdengar ketukan di pintu, “Nia! Nia! Bangun! Ada tamu!”Aku tergeragap dan meloncat dari ranjang. Iti suara Om Jiman, germo bossku, lelaki yang beruntung di dunia, tuan tanah yang kaya raya dan berkuasa penuh atas sawah-sawahnya, yang menyediakan sawah-sawah itu untuk disingkal, disingkal, disingkal, kapan saja ia mau.
Kubuka pintu dan tersenyum. Lihat, aku tersenyum—inilah kemampuan dahsyat yang membuatku laris. Kulirik jam: 8.35 WIB .Gusti Allah, siapa gerangan lelaki yang di pagi buta begini sudah hendak beli sarapan? Kupandang tamuku itu: lelaki setengah tua gendut rapih dan berwajah pemabuk. Tak ada yang menarik. Tapi kuladeni juga seperti Ken Dedes meladeni Ken Arok. Masih sangat ngantuk dan tidur masih kuat menjadi bagian dari diriku. Tapi kuladeni. Juga lelaki berikutnya dan berikutnya lagi. Mas mas yang budiman, kenapa tak berbagi hasrat kepada sahabat-sahabatku di kamar lain, sesekali, meskipun sebagai sawah mereka kurang indah, kurang liat dan kenyal? Aku sesungguhnya bukanlah perampas ekonomi mereka.
Namun hari ini, memang “Hari Besar “ bagiku . Di sore hari, dalam tubuh dan jiwa lungkrahku, sampailah aku di pelukan lelaki ke-1000 di ranjangku. Anak muda yang menarik, pakai jean dan bawa tustel. Kelihatannya ini pegawai surat kabar.
“Mau memfoto aku bugil kan?” kucoba melangkahi maksudnya.
Ia menggeleng dan tersaenyum, “Kau tak menghendaki itu kan?”
Aku hampir menunduk. Tapi kutahankan. Tapi segala sikap dan perkataannya kepadaku sungguh lain. Aku agak gugup. Dan ini yang penting: ia tak menyetubuhiku! Aku makin gugup….
Demikianlah, kami hanya bersetubuh batin. Begitu singkat, tapi segala yang kupertahankan dibatinku ambrol. Tak tahu apa yang terjadi, tapi malam itu aku nangis….ini mimpi yang lain sama sekali. Tak tahu apa.
Ternyata karierku menajak. Dan inilah yang sebenarnya ingin kukemukakan kepadamu. Dua hari kemudian Oom Jiman pagi-pagi menyodorkan padaku sebuah Koran. Di halaman pertama pojok bawah, terpancang fotoku serta segala cerita tentang diriku: korban lelaki binal, kini meladeni 8 orang tiap hari……
Dan sebelum sempat kuselesaikan membacanya, datang dua lelaki membawa Koran yang sama. Memandangku dengan aneh, satunya tersenyum. Kemudian datang lagi dan lagi, lelaki dengan Koran di tangannya. Tingkah lakunya macam-macam, pendekatannya kepadaku beraneka ragam . Mereka antri di depan pintu. Kawan-kawanku sibuk menggunjingkanku. Ada yang senang, nelangsa, marah. Bagaimanapun aku yang memang cantik ini memang saingan mereka. Si Minah merampas koran dari salah seorang lelaki dan merobek-robeknya, kemudian menangis sekeras-kerasnya. Aku bingung, “Ayo, berapa lelaki merangkak diranjangku dalam sehari? Sepuluh? Dua belas ? lima belas?Atau lima orang sekaligus mau jadi babi mabuk di seputar tubuhku?” semoga aku mati sebelum hancur sama sekali. Semoga ada yang menulari Herpes ke tubuhku supaya kusebarkan ke seluruh lelaki yang datang dan meluas ke seantero kota dan seluruh negeri. Aku toh bisa menikamkan pisau ke perutku sewaktu-waktu…..
* * *


TENTANG SESEORANG
YANG MATI TADI PAGI
Cerpen Agus Noor







1.
SEBAGAIMANA sudah ia yakini sejak lama, ia akan mati hari ini, tepat pukul sembilan pagi. Ia ingin segalanya berlangsung tenang dan nyaman. Ia ingin menikmati detik-detik kematiannya dengan karib. Maka ia pun mandi, merasakan air yang meresap lembut dalam pori-porinya dengan kesegaran yang berbeda dari biasanya. Kulitnya terasa lebih peka. Ia bisa merasakan gesekan yang sangat lembut pelan, ketika sebutir air bergulir di ujung hidungnya. Bahkan ia bisa merasakan dingin yang menggeletarkan bulu-bulu matanya. Betapa waktu yang berdenyut lembut membuat perasaannya terhanyut. Dan ia memejam, mencoba merasakan segala suara dan keretap cahaya yang masuk lewat celah ventilasi kamar mandi.
Ia merasa bersyukur, betapa ia telah lama mengetahui kematiannnya sendiri, hingga bisa mempersiapkan segalanya tanpa tergesa-gesa. Ia memotong kuku, mencukur cambang, dan merapikan kumisnya yang tipis. Ia ingat, teman-temannya selalu bilang kalau ia terlihat lebih ganteng bila berkumis tipis. Ia tersnyum. Ia ingin tampak ganteng saat mati pagi ini. Ia menyisir rambuhnya belah tengah, mengoleskan minyak rambut hingga tampak klimis, mengenakan pakaian terbaik miliknya, kemeja motif batik, dan tentu ia tak lupa menyemprotkan minyak wangi. Sedikit di bawah ketiak, di leher, di lengan dan menggosoknya pelan. Ia tak ingin wangi yang berlebihan.
Ini akan jadi kematian yang menyenangkan, batinnya. Sungguh ia merasa beruntung karena bisa menikmati kematian seperti ini. Ia tak perlu susah-susah beli racun, lalu menenggaknya. Alangkah menyedihkan mati seperti itu. Ia juga tak perlu repot-repot menyiapkan tali, dan menggantung diri. Mati dengan cara seperti itu selalu menimbulkan kerumitan tersendiri. Ia pun tak perlu menabrakkan diri ke laju kereta api. Betapa tidak sedapnya mati dengan tubuh remuk terburai seperti itu: merepotkan dan menjijikkan. Orang-orang mesti memunguti tetelan tubuhnya yang berserakan di tanah dan lengket di bantalan rel kereta. Sungguh beruntung ia tak harus mati dengan cara-cara mengenaskan seperti itu. Ia tak perlu mati menderita lantaran usia tua atau penyakit menahun yang menggerogoti tubuhnya. Ia merasa segar – bahkan jauh merasa lebih segar dari hari-hari biasanya – hingga ia tak perlu merasa cemas kalau-kalau kematian akan membuatnya merasa kesakitan.
Tinggal berbaring tenang di ranjang, dan membiarkan maut bersijengkat mendekatinya perlahan.
Ia merasakan waktu yang beringsut berdenyut, dan cahaya mengusapnya lembut. Lihatlah, cahaya matahari seperti susu segar yang ditumpahkan ke lantai, terasa kental. Cahaya yang terlihat begitu jernih dan bening membuat semua benda lebih memancarkan warnanya. Permukaan meja kayu yang sudah ia bersihkan makin terlihat kecoklatan dan begitu detail alur serat kayunya. Barut tipis bekas paku pada cermin, nampak jelas. Sepasang sandal kulit di pojok terlihat bersih, warnanya yang coklat tampak lebih cerah. Detak jam begitu lembut. Kamarnya jadi terasa hangat dan menenangkan.
Lewat jendela yang ia biarkan terbuka, ia bisa merasakan senyum bunga-bunga. Ia bisa mendengar suara lembut gesekan kelopak-kelopak bunga yang perlahan-lahan rekah. Ia mencium harum kambium meruap di udara yang ranum. Harum yang sebelumnya tak pernah ia cium. Juga bau aroma bawang goreng yang samar-samar mengambang di udara yang bergeletaran pelan, membuat setiap aroma jadi terasa begitu kental dalam penciumannya. Ia dengar suara sayap kupu-kupu yang terbang melintasi pagar. Beginikah rasanya saat kematian makin mendekat? Segala terasa melambat. Segala terasa lebih pekat dan hangat. Seperti ada yang memeluknya. Menyelimutinya dengan kesunyian. Seperti ada yang ingin membisikkan penghiburan di dekat telinganya. Dan ia merasakan ada yang perlahan mendekat, seakan mengingatkan agar ia berkemas, meski tak perlu bergegas. Biarkan segalanya berjalan sebagaimana yang direncanakan. Ia akan mati dengan nyaman, tenang dan membahagiakan. Sungguh, bila saat-saat menjelang kematian ini merupakan saat-saat yang paling syahdu dalam hidupnya, ia ingin menghayati dan merasakan kesyahduan itu dengan sempurna. Mati, barangkali memang tak lebih melankoli, seperti puisi pucat pasi. Tapi ia ingin menghayati. Bukan untuk kenangan yang akan dibikinnya abadi, tapi sekadar ingin mengerti bagaimana rasanya mati.
Ketika ia merasakan segalanya makin mendekat, ia pun segera menemui tukang kebun itu. Seperti yang telah lama ia rencanakan, ia pun pamit untuk penghabisan kali pada tukang kebun yang sudah menunggunya dengan sabar.
“Ini sekadar biaya buat pemakaman. Maaf, bila saya merepotkan…”
Kemudian ia berbaring tenang, hingga detik terakhir kematiannya datang.
2.
TEPAT pukul sembilan pagi, laki-laki itu pun mati. Alangkah menyenangkan bisa mati dengan lembut seperti itu, batin tukang kebun sembari memandangi jenazah yang terbaring tenang. Rasanya baru kali ini ia melihat wajah jenazah yang begitu bahagia. Bahkan dalam mati pun laki-laki itu tampak santun dan menyenangkan.
Lalu tukang kebun itu teringat pada saat laki-laki itu datang hendak mengontrak kamar di rumah yang dijaganya. Laki-laki itu mengatakan, ia akan tinggal di sini untuk menanti kematian. Di sebutnya hari dan jam kapan ia akan mati. Tentu saja, ia – pada saat itu – menganggap laki-laki itu hanya bercanda. Usianya masih muda dan terlihat segar. Kematian memang tak bisa di duga, tetapi tukang kebun itu yakin laki-laki itu masih akan hidup lama. Tidak, katanya, saya akan mati. Dan, sekali lagi, disebutnya hari dan jam kapan persisnya ia akan mati.
Laki-laki tampan yang kesepian, tukang kebun itu membatin, sambil menatap wajah tenang laki-laki itu. Mungkin dia hendak bunuh diri. Entah kenapa, tukang kebun itu tiba-tiba saja merasa kasihan. Semuda dan sebagus itu, tapi sudah putus asa dan memilih mati. Karena itulah, dengan halus dan sopan tukang kebun, yang dipercaya pemilik rumah untuk menjaga kamar-kamar kontrakan itu, menolak menerima laki-laki itu. Di sini bukan tempat yang pantas untuk mati, Nak. Kalau kau ingin bunuh diri, carilah tempat lain. Mati di kamar hotel yang sejuk pasti jauh lebih menyenangkan. Kamu bisa memilih tempat yang paling pantas buat kematianmu. Asal jangan di kontrakan ini.
Tidak, Pak. Saya tak hendak bunuh diri. Sungguh. Saya memang mau mati, tetapi tak hendak bunuh diri. Sudah lama saya tahu, saya akan mati di tempat ini. Di kamar kontrakan yang sederhana dan tenang. Ini kematian yang telah saya pilih. Izinkan saya menentukan kematian saya sendiri, Pak. Karna itulah satu-satunya kebahagiaan yang saya miliki dalam hidup. Bukankah tak ada yang lebih menyenangkan selain kita tahu kapan di mana dan bagaimana kita mati? Kita bisa mempersiapkan segalanya sendiri. Kita bisa menantinya dengan tenang. Menyambutnya dengan cara yang paling karib. Dan saya ingin mati dengan tenang di sini, Pak.
Bila itu lelucon, pastilah itu lelucon yang paling tak lucu. Tapi laki-laki itu tampak tak sedang berkelakar. Matanya yang teduh membuat tukang kebun itu terpesona dan mempercayai kata-katanya. Sepanjang ia menjaga rumah kontrakan ini, ia sudah bertemu banyak orang yang terlihat aneh, tertutup bahkan misterius, yang datang mengontrak kamar sebentar kemudian pergi dan tak pernah kembali. Rasanya laki-laki inilah yang paling aneh dan tak ia mengerti.
Bahkan kini pun ia tak kunjung bisa mengerti, kenapa laki-laki itu bisa tahu dengan persis kapan ia mati. Ada rasa iri yang menyelusup ketika ia pelan-pelan menutup jenazah laki-laki itu dengan selimut yang sudah dipersiapkan. Rasanya memang tak ada yang lebih membahagiakan selain mengetahui kapan kita akan mati. Karna dengan begitu tak ada lagi rahasia yang menakutkan dalam hidup ini. Ah, betapa ia juga ingin mati seperti laki-laki ini. Mati dengan tenang – bahkan terasa riang – dan segalanya berlangsung dengan biasa dan sederhana.
3.
DI warung kopi, sore itu, sahabatmu mendengar tukang kebun itu bercerita tentang seseorang yang baru saja mati dengan tenang dan bahagia, tadi pagi.
“Aku menyaksikannya sendiri, detik-detik ketika ia perlahan-lahan mati,” tukang kebun itu bercerita, dan sahabatmu mendengarkan sembari menyeruput kopi. “Aku merasakan cahaya yang perlahan jadi lanum. Seperti ada yang perlahan mendekat, seperti langkah-langkah ringan yang melompati jendela dan masuk ke dalam kamar di mana laki-laki itu berbaring tenang. Aku bayangkan maut mengecup keningnya pelan, dan ia tersenyum. Pada detik itulah aku merasakan ada cahaya kelabu lembut, yang lebih tipis dari kabut, melayang terbang mengelangut serupa senandung maut…”
Setiap sore, sahabatmu memang suka mampir ke warung kopi di sudut jalan itu. Tak seperti sore-sore biasanya, yang gaduh dengan celoteh dan percakapan, sore itu sahabatmu merasakan kemurungan yang luar biasa. Kemurungan, yang sepertinya terbawa oleh cerita tukang kebun itu.
Betapa aku ingin mati seperti laki-laki itu,” suara tukang kebun itu terdengar gemetar dan hambar. “Aku sudah tua, aku sering membayangkan aku akan mati kesepian. Tapi aku selalu cemas karena tak pernah tahu kapan.”
Sembari terus diam mengetuk-ngetuk tepian cangkir dengan ujung-ujung jari, pura-pura abai pada cerita tukang kebun itu, seketika sahabatmu terkenang pada cerita yang sering kau kisahkan perihal seseorang, yang pernah menjadi karib dalam hidupmu, tetapi kemudian memilih hidup menyendiri untuk menanti mati. Biasanya, sahabatmu begitu betah menghabiskan waktu di warung kopi itu. Tapi cerita kematian yang dituturkan tukang kebun itu membuatnya ingin cepat-cepat bertemu denganmu.
4.
KAU hanya terdiam, saat sabahatmu bercerita.
“Begitulah yang kudengar dari tukang kebun itu, ia sudah mati dengan tenang dan bahagia pagi tadi, tepat jam sembilan pagi.”
Biasanya, menghabiskan waktu berjaga, kau dan sahabatmu akan bertukar kelakar sembari bermain kartu, untuk mengusir kantuk dan jemu. Bertahun-tahun menjadi penjaga malam di kamar mayat rumah sakit, kau sudah teramat tahu, bahwa kematian terasa lebih menakutkan ketika dipercakapkan pelan-pelan. Tapi kau sudah terbiasa dengan ketakutan seperti itu. Ketakutan yang selalu muncul bersama bau yang membeku di udara. Bau yang sepertinya sengaja ditinggalkan maut untuk sekadar menjadi tanda. Kau selalu membayangkan bau itu seperti jejak – atau tapak – kaki kucing yang mungil. Jejak yang melekat di lantai dan tembok dan mengapung di udara. Kau sering melihatnya ada di mana-mana, membuatmu seperti bocah pramuka yang sedang mencari jejak agar tak tersesat. Kau bisa mencium bau kematian itu bergerak pelan, tetapi kau tak pernah tahu pasti kapan kematian akan menjemputmu. Kau hanya merasa. Tapi tak kuasa menduga. Dan itu selalu menakutkan. Mencemaskan. Tapi juga selalu membuatmu penasaran.
Itulah sebabnya kenapa kau melamar – dan akhirnya diterima – jadi penjaga malam di kamar mayat rumah sakit. Kau hanya mau giliran jaga malam, karna kau percaya kematian akan jauh lebih terasa pada malam hari. Seperti tinta hitam yang dituangkan ke kolam. Kau jadi seperti bisa meraba dan menyentuhnya.
Kau suka sekali memandangi mayat yang terbaring beku dan pucat. Memandanginya lama-lama. Menyentuh dan merasakan tilas hangat yang masih tersimpan di bawah kulit. Sering kau merasakan denyut lembut yang masih terasa merayapi otot mayat-mayat itu.
Dan malam ini, kau jadi makin mencintai bau kematian, saat sahabatmu menceritakan kematianku tadi pagi. Kau ingin menangis – entah kenapa. Yang pasti bukan karena kehilangan. Kau hanya merasa betapa menyenangkannya bisa mengetahui kematian sendiri. Karena itu, kau pun dulu tampak iri ketika aku bercerita betapa aku telah mengetahui kapan aku mati. Kau merasa iri, karena aku kau anggap telah mampu memecahkan teka-teki.
“Kau tahu,” ucapmu pelan pada sahabatmu yang bersandar di kursi, “aku selalu menginginkan kematian yang tenang dan bahagia seperti itu.” Dan kau pun mencoba membayangkan kelopak mataku yang tampak rapuh ketika perlahan terkatup. Kau bayangkan sisa redup cahaya terakhir yang melekat di retina mataku.
Kau ingin sekali bisa bertemu denganku. Kau ingin sekali bertanya, bagaimana mengetahui kunci teka-teki kematian sendiri, dan mati dengan begitu tenang. Begitu bahagia.
Ingin sekali kau tanyakan itu kepadaku yang telah mati jam sembilan pagi tadi.


Yogyakarta, 2007





MAWAR DI TIANG GANTUNGAN

 

Kupersembahkan cerpen Natal ini untuk semua yang merayakannya.     Bolehlah ini disebut cerpen  magis atau surealis. Apa pun, saya harap kisah ini bisa merefleksikan keimanan kita.

(Kompas, 21 Desember 2008)
MAWAR DI TIANG GANTUNGAN
Cerpen Agus Noor


KUCERITAKAN apa yang kusaksikan. Tapi kalian mengatakan aku dusta, karna aku buta. Aku memang tak punya mata. Namun berapa kali mesti kukatakan, betapa aku bisa melihat langit yang hijau lembut dan halus seperti permukaan agar-agar. Aku bisa melihat pepohonan yang ungu, daun-daunnya yang kemerahan, butiran hujan yang bening keemasan hingga segalanya jadi nampak megah bekilauan setiap kali ia ditumpahkan. Bisa kulihat hamparan rumput yang biru bagai beludru, gugusan awan merah muda, bayang-bayang yang putih dan memanjang, juga angin yang pucat kelabu. Aku bahkan bisa menyentuhnya dengan ujung-ujung jemariku, seperti menyentuh kelembutan sutra yang berkibaran. Aku bisa melihat segala yang tidak mampu kau pandang dengan sepasang matamu.
Aku melihatnya di pinggir jalan itu. Seperti malam-malam sebelumnya, ia selalu muncul dengan gaun yang mengundang, kakinya jenjang, berdiri menunggu seseorang datang, dan kau menyebutnya pelacur. Saat pertama kali melihatnya, aku langsung tahu. Namanya Mawar. 28 tahun lebih enam hari. Dia lahir saat hujan turun begitu lebat jam 9 pagi. Sebulan setelah melahirkannya, ibunya gila karena guna-guna istri muda simpanan suaminya. Aku melihat garis pedih dan hitam. Aku bisa melihat semua yang hendak disembunyikannya. Bilur jejak luka di tubuhnya, dua anaknya yang sakit-sakitan di rumah petak kontrakannya di pinggiran kota sana, masa lalunya yang penuh kesedihan, suaminya yang minggat, dua tahi lalat kecil di punggungnya. Sungguh, tak ada yang tak terlihat olehku yang buta. Juga hari paling nestapa dalam hidupnya yang bakal tiba. Itulah sebabnya aku menyukainya sejak pertama. Ia seperti dikutuk kecantikannya. Kuceritakan penglihatanku. Tapi ia hanya tertawa.
“Kenapa mesti takut? Berkali-kali aku kena garuk. Aku tahu bagaimana caranya mengatasi,” katanya. “Aku cuman perlu memberi sedikit kesenangan pada para petugas itu.”
Ia sebenarnya tak terlalu suka bicara. Sementara para pelacur lain berkeliaran sambil cekikikan genit setiap ada laki-laki muncul, ia memilih menyendiri. Kadang tampak ganjil juga melihat sosoknya di jalanan merah remang ini. Tapi itu membuatku jadi bisa sering mengajaknya bercakap. Pernah ia cerita tentang pelacur tua yang matanya menjadi buta karna rajasinga.
“Dan kamu, kenapa buta?” Ia sayu menatapku.
“Aku tak buta. Aku memang memilih tak punya mata.”
Lalu aku pun bercerita padanya.
Ketika sepasang malaikat membawa ruhku turun dari langit, mereka bergantian membisikan nasib yang akan kujalani. Kemudian ditiupkan ruhku pada rahim perempuan yang akan menjadi ibuku. Seperti tanah liat yang mulai terbentuk, disematkannya tangan dan kaki pada tubuhku, diberinya aku degub jantung. Aku senang sekali ketika sepasang malaikat itu mulai memberiku telinga mulut dan hidung. Kemudian ditunjukan padaku sepasang mata yang indah, dan berkata, “Mata ini akan membuatmu jelita. Tapi kau akan menderita karenanya.”
Lalu kukatakan pada malaikat itu, “Biarlah aku tak punya mata saja.”
“Bila kau tak punya mata, kau akan melihat banyak rahasia.”
“Kalau begitu, buat apa aku punya mata, bila aku bisa melihat tanpanya?”
Lalu mereka menyimpan sepasang mata itu.
“Baiklah, kami akan menaruh matamu ini di surga. Kelak, kamu bisa kembali mengambilnya.”
Tentu, kau bisa menduga, ketika aku lahir dan menatap dunia, perempuan itu langsung meraung ketika tahu anaknya tak punya mata. Ia begitu membenciku, dan tak pernah mau menatapku. Ia membuangku. Aku bahkan tak pernah tahu namanya. Seorang pemulung menemukanku di tempat pembuangan sampah, kemudian menjualku pada seseorang yang menampung para pengemis. Melihatku yang tak punya mata, ia seperti menemukan barang langka paling berharga. “Anak ini akan membuat iba siapa pun yang menatapnya. Anak ini akan membuat orang tak sungkan-sungkan melemparkan receh mereka.” Di rumah itu tinggal banyak anak-anak yang bagai barang rongsokan. Seorang anak kedua kakinya pengkor. Seorang anak tampak begitu idiot dengan air liur kental bacin yang terus berleleran. Ada yang bongkok. Ada yang gagu. Jileng. Perot. Digerogoti kusta. Bahkan seorang bocah yang tampak manis sengaja diiris telinganya dan dibiarkan jadi borok agar terlihat menyedihkan. Tentu, aku menjadi yang paling menyedihkan di antara mereka, dan karenanya bisa menghasilkan banyak uang setiap mengemis. Aku tahu, orang-orang lebih suka cepat-cepat memberi uang recehan mereka dan bergegas pergi ketimbang berlama-lama bersitatap denganku. Siapa yang tahan memandang wajah dengan sepasang liang hitam menganga?
Sengaja kubuka kelopak mataku, dan ia bergidik ngeri.
“Lihat, kau pun takut menatapku.”
Aku bisa memahami perasaannya. Seorang pelacur cantik bersandang dekat perempuan tua buta, kukira memang bukan pemandangan yang menyenangkan. Ia bisa kehilangan pelanggan.
“Bukannya aku tak percaya. Tapi dengan apa kau melihat, kalau kau tak punya mata?”
“Aku melihat dengan mata yang tak kau punyai. Aku bisa melihat seekor kelabang mendekam di balik batu itu. Aku bisa melihat suara kucing yang mengeong di atap rumah ujung jalan itu. Pandanglah ujung gang yang kelabu itu, aku bisa melihatnya mengembang dan mengkerut seperti gumpalan kabut. Aku bisa melihat kota ini seperti bola bekel raksasa yang lembek, aku bisa menyentuhnya dengan tanganku, cahaya seperti lumer di sela jariku. Aku bisa melihat menara jam di tengah kota bergumam muram tengah malam, kemudian meliuk merunduk. Aku bisa melihat maneken-maneken yang berkedip, menggeliat bosan terkurung etalase toko-toko sepanjang jalan ini. Mereka seperti pelacur-pelacur kesepian yang menunggu pelanggan dan sentuhan…”
Dia tertawa.
“Lihatlah, bahkan aku bisa melihat tawamu yang ungu kebiru-biruan memuai di udara.”
Ia kembali tertawa. Kutegaskan padanya, betapa setiap suara punya warna yang berbeda-beda. Kau mendengar suara, sementara aku bisa melihatnya. Ia terus tertawa. Aku tahu ia mulai nyaman di dekatku. “Kau menyenangkan. Caramu bercerita membuatku tak tertalu kesepian,” katanya.
Sejak itu aku sering menemaninya. Ia suka setiap aku menceritakan yang kulihat. Dunia yang kusaksikan membuatnya terpesona. Lalu kukatakan apa yang bakal menimpanya. Ia memang tak menuduhku berdusta, tapi tak percaya.
Aku ingat betul malam itu ia terlihat lebih sedih dan gelisah. Barangkali ia pun merasakan firasat itu, tetapi tetap bersikeras tak mempercayainya. Hujan yang biru pekat membuat jalanan menggigil, dan angin yang buruk seperti kaleng rombeng yang bergerompyangan menabrak-nabrak dinding. Lepas 3 dini hari. Sebagian pelacur telah pergi. Ia berteduh di trotoar, rambutnya basah tertempias hujan. Di pojokan toko, aku rebahan pada tumpukan kardus memandangi bayangan takdir paling getir. Aku seperti mendengar lecut petir, ketika kulihat beberapa pelacur bergegas menyingkir. Mobil patroli yang mendadak muncul membuat semuanya kocar-kacir. Ia pun hendak lari. Tetapi para petugas sudah mengepungnya. Aku bisa melihat lelehan sisa arak di mulut petugas-petugas itu. Aku tahu mereka barusan menenggak berbotol-botol arak sebelum sampai ke sini. Arak yang memadamkan sepi dan membangkitkan birahi. Itulah sebabnya mereka menjadi lebih beringas dari biasanya. Aku melihat aroma pekat kecoklatan nafas mereka ketika menyeringai tertawa. Mungkin saat itu aku berteriak. Mungkin tidak. Semuanya berlangsung begitu cepat. Seorang memukulku yang mencoba menolong Mawar. Aku bahkan nyaris dicekiknya, tapi petugas yang lain segera berteriak, “Biarkan! Dia cuma perempuan buta itu!”
Lalu kesaksikan mereka menyeret Mawar yang terus meronta. Melemparkannya ke mobil patroli. Membawanya pergi kemudian menyekapnya di gudang. Aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Begitu nyata dalam penglihatanku. Wajah Mawar pucat, bibirnya bengkak kena pukul, seekor cicak kaget menyelusup ke celah dinding, ketika Mawar menjerit. Mereka menyumpal mulutnya. Memelorotkan pakaiannya dengan paksa, kemudian bergiliran memperkosanya. Sunyi yang paling hitam membenamkan penglihatanku yang penuh kepedihan. Isak tangis muram menyelubungi gudang itu, bercampur erang yang terdengar bagai muncul dari binatang terluka. Lalu kusaksikan Mawar mendadak bangkit menyerang sambil menjerit panjang. Ia hantam kepala seorang pemerkosanya dengan lonjoran besi yang berhasil diraihnya. Ia mengamuk dengan buas. Dihujamkannya berkali-kali besi itu ke tubuh yang terkapar…
Begitulah kejadiannya. Kuceritakan apa yang kusaksikan, tapi kalian tak pernah percaya pada saksi mata yang buta. Padahal bukan aku yang dusta, tapi mereka. Peristiwa pemerkosaan itu mereka tutup-tutupi dengan pembunuhan itu. Mereka bilang mereka tengah patroli seperti biasa. Mawar mereka bawa dan nasehati baik-baik ketika mendadak ia mengamuk. Rupanya ia mabok berat. Di tasnya ada beberapa butir pil dan pisau lipat – yang sengaja ditaruh petugas untuk menjebaknya. Ada bercak darah di pisau itu. Dan selanjutnya kau tahu sebagaimana diberitakan koran-koran: katanya Mawar baru saja membunuh seorang pelanggan yang tak membayarnya. Bahkan petugas bisa mengembangkan bukti, ternyata dialah psikopat yang selama ini mereka cari. Ia pembunuh yang telah memotong-motong delapan korbannya. Pelacur dan pembunuh. Itu alasan yang cukup untuk menyeretnya ke tiang gantungan. Kalian seketika merasa nyaman, karena pembunuh misterius itu telah tertangkap. Dan kalian makin merasa tenang karena kalian memang ingin melenyapkan maksiat dari kota. Pelacur-pelacur mesti disingkirkan. Mereka selama ini membuatmu jengah karena takut dengannya suami-suami dan anak laki-laki kalian berzinah. Segala yang cabul mesti dimusnahkah, karena begitulah menurut undang-undang yang baru kalian sahkan. Maka kalian pun hanya diam ketika Mawar diarak ke alun-alun kota, dicambuk dan dirajam, kemudian digantung sebagai tontonan. Kusaksikan senja yang memar, burung gagak merah berkaokan, dan angin yang muram berkesiur pelan membuat tubuh itu terayun di tiang gantungan. Sampai malam.
Keesokan harinya kalian gempar. Mayat itu lenyap dari tiang gantungan!
Di pasar. Di kantor. Di ruang tunggu rumah sakit. Di warung dan kafe. Di pangkalan ojek. Di seluruh kota. Orang-orang ramai membicarakan. Sampai sekarang pun kalian masih terus kasuk-kusuk. Kalian kebingungan ketika anak-anak kalian bertanya. Karna bagaimana pun tidaklah mungkin mayat itu lenyap begitu saja. Siapa yang membawanya?
Baiklah, kuceritakan apa yang telah kusaksikan.
Setelah mayat itu digantung, kalian pun bubar. Sebagian kalian tertunduk, seakan ingin menghapus bayangan buruk. Tapi kalian tak ingin terus menerus disesah kengerian dan sesal karena saat itu hari Natal. Kalian mesti ke gereja. Ada yang lebih kudus untuk dirayakan. Maka malam itu aku pun menyaksikan langit kota yang dipenuhi nyanyian doa kalian. Hujan rinai turun, malam mengelabu. Aku sendirian di alun-alun itu, memandangi tubuh Mawar yang tergantung dalam bayangan cahaya murung. Kurasakan debu-debu berterbangan dihembus angin yang makin jekut ketika kesepian makin membentangkan kelengangan yang menyanyatkan keperihan bersama lebuh dan dingin yang mulai membaluri kota sementara sisa gema lonceng bagai melekat di udara yang makin menggigilkanku dalam kesedihan.
Saat itulah, ketika di gereja kalian memadahkan kidung agung Natal penuh suka cita, aku tiba-tiba melihat seseorang muncul dari ketiadaan. Ia berjalan mendekati tiang gantungan. Kalian pasti akan langsung tahu siapa dia begitu melihat wajahnya yang bersih dan indah, seperti ada cahaya mengitari kepalanya. Matanya seperti bintang bening. Seyumnya seperti anggur lembut yang seketika bisa menghapus dahaga. Rambutnya ikal dan panjang. Ia berjalan anggun, seperti seseorang yang berjalan melintasi permukaan air, meski sesekali tampak limbung karena menahan luka dilambungnya. Kulihat tangan dan kakinya berdarah. Kudengar ia berseru, seperti memanggil nama pelacur itu.
Aku begitu terkesima menyaksikannya. Langit seakan tiba-tiba benderang penuh cahaya keemasan yang cemerlang. Kulihat ia bersimpuh di bawah tiang gantungan, dan mencium lembut kaki mayat yang tergantung itu, kemudian menurunkannya. Saat itu aku melihat ribuan mawar mengapung di udara menyerbakkan harum yang megah. Kudengar kalian masih menyanyikan doa-doa dan pujian di gereja ketika laki-laki itu membawanya pergi. Seperti pengantin membopong mempelainya.
Kuceritakan ini pada kalian, tapi kalian menuduhku pendusta.***
Yogyakarta, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar